Pages

Jumat, 07 November 2014

A PIECE OF LIGHT
jepanganimator.jpg (440×313)
“Bisakah kita mengambil keputusan-keputusan gila dalam hidup ini? Keluar dari jalur yang seharusnya, pergi berkelana ke suatu tempat, dimana uang bukanlah isu utama… bisakah?”
          Jari-jariku mengetik perlahan huruf demi huruf yang terdapat pada papan keyboard. Mengolah kata demi kata sedemikian rupa menjadi sebuah kalimat indah bermakna. Mengabaikan dinginnya angin malam yang berhembus melalui celah-celah korden jendela besar di samping tempat tidur. Mengabaikan makanan di atas meja yang sudah mendingin. Tak apalah, demi mengejar harapan terbesar.
          Aku adalah seorang penulis amatir, sangat malah. Orang-orang sering memanggilku ‘Ryu’. Entahlah, aku tak tahu kenapa mereka memanggilku begitu. Mungkin dari margaku yang agak berbeda dari orang kebanyakan. Aku tinggal di flat kecil yang terletak di pinggiran kota. Alasannya?? Disini tenang, udara yang masih bersih, orang-orang yang ramah, dan tentunya harga sewa yang murah.
          Aku kembali berkutat pada layar putih didepanku. Memaksa otakku untuk berpikir keras terhadap kata-kata apa yang harus kutuliskan selanjutnya. Hmm…. Mencari inspirasi tidaklah semudah mencari marga Kim di Korea Selatan. Apalagi tulisanku ini masih abu-abu.
          ‘Ding’
          Email masuk dari kantor penerbit tempat aku bekerja.
          “Ryu, kau harus mengirimkan tulisanmu paling lambat 2 minggu dari hari ini. Hwaiting !”  
Huuh.. . Aku menekan tanda silang di pojok kanan atas. Ini mimpi buruk.. buruk sekali. Tulisanku baru satu kalimat, sedangkan novel itu beribu kalimat !! Apa aku harus bertransformasi menjadi kelelawar?
          Aku menenggelamkan wajahku dimeja. Judul, cast, tema, genre, belum terpikirkan sepenuhnya. Lalu? Apa aku harus membuang kesempatan berharga ini? Tidak.. tidak.. aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku menghembuskan nafasku perlahan. Merilekskan pikiran yang sedang kacau ini. Bagaimana bisa kau memikirkan hal itu dengan mudahnya sedangkan saat menggapainya kau bahkan terseok-seok.
          Tanpa sadar aku tertidur dengan berbagai pikiran yang merasuk ke otak. Mengabaikan posisi yang bisa membuat seluruh badan menjadi kaku.
          Keesokan paginya, aku memutuskan untuk mencari inspirasi ke perpustakaan di tengah kota. Jarak jauh tak menjadi halangan selama novel ini bisa selesai secepatnya. Aku memasuki bangunan yang bisa dibilang cukup tua ini. Mendorong kedua pintu besinya hingga menimbulkan suara berderit. Di dalamnya hanya terdapat segelintir orang dengan kesibukannya masing-masing. Tempat ini mirip dengan Victoria Library di Melbourne, Australia. Dengan rak-rak buku yang disusun melingkar mengikuti bentuk bangunannya. Bangunan ini mempunyai 4 tingkatan dengan atap berbentuk setengah lingkaran dan terbuat dari kaca. Ditengah-tengah atau pusatnya merupakan tempat bagi pengunjung untuk membaca. Meja baca disusun hingga menyerupai bentuk bunga dan ditengah-tengahnya terdapat meja berbentuk lingkaran.
          Aku tak henti-hentinya takjub meski sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini. Secara tak sadar kakiku melangkah ke rak yang berisi buku-buku fiksi bergenre fantasy, mengambil sebuah buku karya Piers Anthony yang berjudul Incarnations of Immortality.
          “Hmmm.. cukup bagus” . Aku berbalik, berjalan menuju ke arah meja baca yang letaknya cukup jauh. Maklum saja, rak tadi terletak dibagian paling ujung dan agak gelap karena kurang pencahayaan. Saat berjalan aku seolah melihat sekelebat bayangan hitam mengawasiku dari kejauhan. Kupikir itu hanyalah bayangan manusia biasa, tetapi lama-kelamaan pikiran liar menguasai otakku. Aku menengok sekali lagi ke tempat tadi, memastikan bahwa itu memang manusia asli. Tetapi, tak ada orang sama sekali.
          “Whuuuss”
          Tiba-tiba angin kencang menerpa tubuhku seolah membisikkan sesuatu. Tubuhku bergidik, entah karena angin tadi atau ada ‘hal lain’. Langkah kakiku berjalan dengan cepat berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa ini masih jam 10.00 pagi bukan jam 10.00 malam.
           Sesampainya diflat, mau tak mau aku harus menyelesaikan tanggunganku –menulis novel-. Dengan langkah berat berharap bangunan ini runtuh menimpa gadget sialan itu, sehingga aku bisa berasalan untuk meminta waktu karena flatku sedang direnovasi dan aku tidak mempunyai biaya untuk membeli gadget baru. Tetapi angan-angan hanyalah angan-angan. Aku duduk bersandar menghadap laptop, menghembuskan nafas sekali lagi. Jari-jari tangan yang sudah siap pada posisi untuk menulis.
          Berpikir… berpikir…
          Kata-kata apa yang harus kutuliskan??
          Setelah 30 menit berdebat dengan pikiranku sendiri dan tidak menghasilkan apapun, akhirnya aku memutuskan berkelana kedunia mimpi. Dunia alam bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan dan indra lainnya.
          Aku berlari tak tentu arah.. mengabaikan keadaan sekeliling hutan rimba yang penuh dengan pohon-pohon besar dan rumput-rumput liar. Sungguh aku tak tahu. Apa yang membuat kedua kaki ini memaksa untuk berlari tanpa alas kaki. Menerjang apapun tak perduli darah mengalir di telapak kaki. Keringat meluncur deras dari pelipis membasahi pakaian yang ku kenakan. Angin malam menusuk sekujur tubuhku, melawan arus hingga mencapai ujung dari tempat ini.
          Aku tak tahu…. Dan tak mau tahu….
          Yang kupikirkan hanyalah membuat jangkauan sepanjang mungkin.Tak ada orang dibelakang, yang ada hanyalah jajaran pohon tinggi menjulang dengan cabang kesana kemari. Tapi, perasaanku berkata lain. ‘Dia’ semu, tak nyata, dan berlari seperti cahaya. ‘Dia’ seperti bayangan hitam yang selalu menghantui kapan saja.
          Aku terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuh dan nafas terengah-engah. Ini seperti lucid dreaming.Aku sadar dengan mimpi itu, tapi aku tak punya kendali untuk menghentikannya. Tidak, mimpi itu tidak mau aku berhenti dan memaksaku untuk melanjutkannya.
          Dan anehnya…
          Setelah aku mengalami mimpi itu, secara tak sadar aku menuliskan berbaris-baris kalimat tanpa bisa kukendalikan. Pandangan kosong, badan kaku, dan jantung yang berdetak 2 kali lipat dari normalnya. Bahkan aku tak sadar, apakah aku berkedip atau tidak saat itu.
          Selama kurang lebih 10 menit bagai patung tak  bernyawa, akupun kembali kedunia sadarku. Menormalkan helaan nafas yang keluar dan berkedip karena mata yang kaku. Bermonolog dengan diriku sendiri tentang apa yang baru saja terjadi. Tetapi, sekeras apapun aku berpikir yang ada hanyalah warna hitam, hitam, dan hitam.
          Tak perduli sudah berapa kali aku memaksakan otak ini untuk mengingatnya, itu semua hanya sia-sia.
          Terlepas dari itu semua, pikiran tentang deadline pengiriman novel muncul begitu saja. Sudah berapa hari aku tak menulis?? Pikiranku kembali kacau. Aku melirik kalender dengan wallpaper musim semi tahun lalu.
          “D-7”.  Aku menggumam. Secepat kilat aku membuka laptop.
          “Eh.. sudah 10 lembar?”. Tiba-tiba jari-jariku terasa pegal.
          “Ini aku yang menulis??? Aku?? Sungguh??”. Aku meneliti setiap kalimat yang terketik. Tidak ada typo dan kesalahan dalam penulisan tanda baca. Hebat sekali… padahal, biasanya cerpen yang kutulis harus aku sunting 3-4 kali. Dan ini..
          Kejadian itu selalu berulang tiap harinya. Melihat bayangan hitam, bermimpi, lalu secara otomatis menulis berlembar-lembar halaman. Hingga D-2 ceritaku hampir selesai. Aku optimis novel ini akan diterima oleh redaksi dan diterbitkan.
          Suatu malam terlintas di pikiranku tentang manusia bayangan atau sering dikenal dengan Shadow People. Bukan, ini bukan ilusi. Manusia bayangan merupakan makhluk supranatural yang muncul sebagai bentuk-bentuk gelap di ujung penglihatan manusia lalu hancur menghilang. Entahlah… harus percaya atau tidak yang terpenting adalah novel ini harus selesai.

          Tepat pada hari pengiriman novel, mimpi tentang ‘dia’-bayangan hitam- menghilang. Tak ada lagi kasus kejar-mengejar, dan tak ada lagi perilaku aneh yang menimpaku. Semuanya kembali seperti semula. Dimana seorang Ryu kembali ke kehidupan lamanya yang terbilang monoton dan menjenuhkan. Tak ada lagi kekhawatiran dan sensasi aneh yang kualami selama 2 minggu ini. Tak ada lagi konflik batin yang membuat frustasi. Tapi… aku sangat berterimakasih kepada ‘nya’. Membuatku berpikir bahwa tak selamanya yang buruk berakibat menimbulkan sesuatu yang buruk juga. Dan seseorang di balik kabut pekat itu tersenyum. 






Pffft... not a good story i think .. but ... ini asli karya saya. Saya tahu endingnya agak maksa, tapi lumayanlah. Belajar menulis kan nggak mudah, apalagi harus ada feel dari cerita yang dibuat. At first, saya bingung mau kasih judul apa.. dan hasil dari bertapa muncullah judul yang entah kenapa masih ngganjel di hati. But, thanks for reading ! :) 

0 komentar:

Posting Komentar