A PIECE OF LIGHT
“Bisakah
kita mengambil keputusan-keputusan gila dalam hidup ini? Keluar dari jalur yang
seharusnya, pergi berkelana ke suatu tempat, dimana uang bukanlah isu utama…
bisakah?”
Jari-jariku mengetik perlahan huruf demi huruf yang
terdapat pada papan keyboard. Mengolah kata demi kata sedemikian rupa menjadi
sebuah kalimat indah bermakna. Mengabaikan dinginnya angin malam yang berhembus
melalui celah-celah korden jendela besar di samping tempat tidur. Mengabaikan
makanan di atas meja yang sudah mendingin. Tak apalah, demi mengejar harapan
terbesar.
Aku adalah seorang penulis amatir, sangat malah.
Orang-orang sering memanggilku ‘Ryu’. Entahlah, aku tak tahu kenapa mereka
memanggilku begitu. Mungkin dari margaku yang agak berbeda dari orang kebanyakan.
Aku tinggal di flat kecil yang terletak di pinggiran kota. Alasannya?? Disini
tenang, udara yang masih bersih, orang-orang yang ramah, dan tentunya harga
sewa yang murah.
Aku kembali berkutat pada layar putih didepanku. Memaksa
otakku untuk berpikir keras terhadap kata-kata apa yang harus kutuliskan
selanjutnya. Hmm…. Mencari inspirasi tidaklah semudah mencari marga Kim di
Korea Selatan. Apalagi tulisanku ini masih abu-abu.
‘Ding’
Email masuk dari kantor penerbit tempat aku bekerja.
“Ryu, kau harus mengirimkan tulisanmu paling lambat 2
minggu dari hari ini. Hwaiting !”
Huuh..
. Aku menekan tanda silang di pojok kanan atas. Ini mimpi buruk.. buruk sekali.
Tulisanku baru satu kalimat, sedangkan novel itu beribu kalimat !! Apa aku
harus bertransformasi menjadi kelelawar?
Aku menenggelamkan wajahku dimeja. Judul, cast, tema,
genre, belum terpikirkan sepenuhnya. Lalu? Apa aku harus membuang kesempatan
berharga ini? Tidak.. tidak.. aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku
menghembuskan nafasku perlahan. Merilekskan pikiran yang sedang kacau ini.
Bagaimana bisa kau memikirkan hal itu dengan mudahnya sedangkan saat
menggapainya kau bahkan terseok-seok.
Tanpa sadar aku tertidur dengan berbagai pikiran yang
merasuk ke otak. Mengabaikan posisi yang bisa membuat seluruh badan menjadi
kaku.
Keesokan paginya, aku memutuskan untuk mencari inspirasi ke
perpustakaan di tengah kota. Jarak jauh tak menjadi halangan selama novel ini
bisa selesai secepatnya. Aku memasuki bangunan yang bisa dibilang cukup tua
ini. Mendorong kedua pintu besinya hingga menimbulkan suara berderit. Di
dalamnya hanya terdapat segelintir orang dengan kesibukannya masing-masing. Tempat
ini mirip dengan Victoria Library di Melbourne, Australia. Dengan rak-rak buku
yang disusun melingkar mengikuti bentuk bangunannya. Bangunan ini mempunyai 4
tingkatan dengan atap berbentuk setengah lingkaran dan terbuat dari kaca.
Ditengah-tengah atau pusatnya merupakan tempat bagi pengunjung untuk membaca.
Meja baca disusun hingga menyerupai bentuk bunga dan ditengah-tengahnya
terdapat meja berbentuk lingkaran.
Aku tak henti-hentinya takjub meski sudah beberapa kali
mengunjungi tempat ini. Secara tak sadar kakiku melangkah ke rak yang berisi
buku-buku fiksi bergenre fantasy, mengambil sebuah buku karya Piers Anthony
yang berjudul Incarnations of Immortality.
“Hmmm.. cukup bagus” . Aku berbalik, berjalan menuju ke arah
meja baca yang letaknya cukup jauh. Maklum saja, rak tadi terletak dibagian
paling ujung dan agak gelap karena kurang pencahayaan. Saat berjalan aku seolah
melihat sekelebat bayangan hitam mengawasiku dari kejauhan. Kupikir itu
hanyalah bayangan manusia biasa, tetapi lama-kelamaan pikiran liar menguasai
otakku. Aku menengok sekali lagi ke tempat tadi, memastikan bahwa itu memang
manusia asli. Tetapi, tak ada orang sama sekali.
“Whuuuss”
Tiba-tiba angin kencang menerpa tubuhku seolah membisikkan
sesuatu. Tubuhku bergidik, entah karena angin tadi atau ada ‘hal lain’. Langkah
kakiku berjalan dengan cepat berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa ini
masih jam 10.00 pagi bukan jam 10.00 malam.
Sesampainya diflat,
mau tak mau aku harus menyelesaikan tanggunganku –menulis novel-. Dengan
langkah berat berharap bangunan ini runtuh menimpa gadget sialan itu, sehingga
aku bisa berasalan untuk meminta waktu karena flatku sedang direnovasi dan aku
tidak mempunyai biaya untuk membeli gadget baru. Tetapi angan-angan hanyalah
angan-angan. Aku duduk bersandar menghadap laptop, menghembuskan nafas sekali
lagi. Jari-jari tangan yang sudah siap pada posisi untuk menulis.
Berpikir… berpikir…
Kata-kata apa yang harus kutuliskan??
Setelah 30 menit berdebat dengan pikiranku sendiri dan
tidak menghasilkan apapun, akhirnya aku memutuskan berkelana kedunia mimpi.
Dunia alam bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran,
perasaan dan indra lainnya.
Aku berlari tak tentu
arah.. mengabaikan keadaan sekeliling hutan rimba yang penuh dengan pohon-pohon
besar dan rumput-rumput liar. Sungguh aku tak tahu. Apa yang membuat kedua kaki
ini memaksa untuk berlari tanpa alas kaki. Menerjang apapun tak perduli darah
mengalir di telapak kaki. Keringat meluncur deras dari pelipis membasahi
pakaian yang ku kenakan. Angin malam menusuk sekujur tubuhku, melawan arus
hingga mencapai ujung dari tempat ini.
Aku tak tahu…. Dan tak mau tahu….
Yang kupikirkan hanyalah membuat
jangkauan sepanjang mungkin.Tak ada orang dibelakang, yang ada hanyalah jajaran
pohon tinggi menjulang dengan cabang kesana kemari. Tapi, perasaanku berkata
lain. ‘Dia’ semu, tak nyata, dan berlari seperti cahaya. ‘Dia’ seperti bayangan
hitam yang selalu menghantui kapan saja.
Aku terbangun
dengan keringat dingin di sekujur tubuh dan nafas terengah-engah. Ini seperti lucid dreaming.Aku sadar dengan mimpi
itu, tapi aku tak punya kendali untuk menghentikannya. Tidak, mimpi itu tidak
mau aku berhenti dan memaksaku untuk melanjutkannya.
Dan anehnya…
Setelah aku mengalami mimpi itu, secara tak sadar aku menuliskan
berbaris-baris kalimat tanpa bisa kukendalikan. Pandangan kosong, badan kaku,
dan jantung yang berdetak 2 kali lipat dari normalnya. Bahkan aku tak sadar,
apakah aku berkedip atau tidak saat itu.
Selama kurang lebih 10 menit bagai patung tak bernyawa, akupun kembali kedunia sadarku.
Menormalkan helaan nafas yang keluar dan berkedip karena mata yang kaku.
Bermonolog dengan diriku sendiri tentang apa yang baru saja terjadi. Tetapi,
sekeras apapun aku berpikir yang ada hanyalah warna hitam, hitam, dan hitam.
Tak perduli sudah berapa kali aku memaksakan otak ini untuk
mengingatnya, itu semua hanya sia-sia.
Terlepas dari itu semua, pikiran tentang deadline
pengiriman novel muncul begitu saja. Sudah berapa hari aku tak menulis??
Pikiranku kembali kacau. Aku melirik kalender dengan wallpaper musim semi tahun
lalu.
“D-7”. Aku menggumam.
Secepat kilat aku membuka laptop.
“Eh.. sudah 10 lembar?”. Tiba-tiba jari-jariku terasa
pegal.
“Ini aku yang menulis??? Aku?? Sungguh??”. Aku meneliti
setiap kalimat yang terketik. Tidak ada typo dan kesalahan dalam penulisan
tanda baca. Hebat sekali… padahal, biasanya cerpen yang kutulis harus aku
sunting 3-4 kali. Dan ini..
Kejadian itu selalu berulang tiap harinya. Melihat bayangan
hitam, bermimpi, lalu secara otomatis menulis berlembar-lembar halaman. Hingga
D-2 ceritaku hampir selesai. Aku optimis novel ini akan diterima oleh redaksi
dan diterbitkan.
Suatu malam terlintas di pikiranku tentang manusia bayangan
atau sering dikenal dengan Shadow People.
Bukan, ini bukan ilusi. Manusia bayangan merupakan makhluk supranatural yang
muncul sebagai bentuk-bentuk gelap di ujung penglihatan manusia lalu hancur
menghilang. Entahlah… harus percaya atau tidak yang terpenting adalah novel ini
harus selesai.
Tepat pada hari pengiriman novel, mimpi tentang
‘dia’-bayangan hitam- menghilang. Tak ada lagi kasus kejar-mengejar, dan tak
ada lagi perilaku aneh yang menimpaku. Semuanya kembali seperti semula. Dimana
seorang Ryu kembali ke kehidupan lamanya yang terbilang monoton dan
menjenuhkan. Tak ada lagi kekhawatiran dan sensasi aneh yang kualami selama 2 minggu
ini. Tak ada lagi konflik batin yang membuat frustasi. Tapi… aku sangat
berterimakasih kepada ‘nya’. Membuatku berpikir bahwa tak selamanya yang buruk
berakibat menimbulkan sesuatu yang buruk juga. Dan seseorang di balik kabut
pekat itu tersenyum.
Pffft... not a good story i think .. but ... ini asli karya saya. Saya tahu endingnya agak maksa, tapi lumayanlah. Belajar menulis kan nggak mudah, apalagi harus ada feel dari cerita yang dibuat. At first, saya bingung mau kasih judul apa.. dan hasil dari bertapa muncullah judul yang entah kenapa masih ngganjel di hati. But, thanks for reading ! :)